Baru-baru ini aku menyukai
suasana temaram yang berasal dari lampu hias yang kupasang di dinding kamarku.
Sebelumnya, aku tak menyukai suasana-suasana seperti ini. Membuat segala
terlihat lebih muram. Tapi ternyata aku salah, justru aku lebih nyaman dan
tenang dengan suasana temaram begini. Ada cahaya orange kemerahan yang
menerobos melalui celah-celah jendela kamarku, tanda di luar sana sedang cerah.
Maklum saja, akhir-akhir ini cuaca sedang labil-labilnya. Seperti kerinduan
yang lama bungkam.
Rasanya masih hangat ketika
menepati undanganmu di stasiun malam itu. Ada perasaan bahagia namun banyak
tidak mengertinya. Katamu, perempuan dengan mata coklat itu saudarimu. Tapi,
entah mengapa aku selalu saja menyangkal hal itu. Setelah aku pikir-pikir,
ternyata ada baiknya juga kita berpisah. Aku tak lagi mencemaskan hal-hal yang
tidak perlu aku cemaskan dan tidak mencemaskanku pula. Aku sadar bahwa kita
tidak pernah benar-benar bahagia. Hitungan-hitungan konyol ketika menunggu
kereta api lewat, nyanyianmu yang cenderung sumbang, candaan yang tidak pernah
kau nilai, dan hal-hal lain itu hanya buah dari ketidakenakan satu sama lain
bukan?
Ah seharusnya aku tidak cukup
bodoh untuk menepati undanganmu waktu itu, memberimu kesempatan berkali-kali
tidak mengubah kamu menjadi lebih baik. Justru aku memanjakan kamu bahwa kamu
masih memiliki tempat pulang meski berkali-kali telah menyakiti. Aku bodoh,
terlalu mempercayai orang yang bahkan mungkin tidak percaya dengan dirinya
sendiri.
“Kie, maafin aku yang terlalu
nggak tahu diri ini.” Katamu waktu itu selepas kamu menceritakan siapa
perempuan bermata coklat itu. “Aku ingin kita seperti dulu lagi.”
“Apa katamu? Kembali seperti
dulu? Haha. Kamu ini lucu. Kamu sendiri yang memintaku untuk selesai tepat
ketika aku menemuimu. Lalu sekarang kamu ingin kita kembali?” suaraku bergetar,
ada sesak yang amat dalam, entah apa. “Sudah cukup bagiku berlarut-larut dalam ketidakpastian
seperti saat itu.”
“Tidak bisakah sekali lagi kamu
beri aku kesempatan, Kie?” Kamu menggenggam tanganku, memohon segala ampun. Tapi
sayang, keputusanku sudah bulat. Tidak menerima kamu kembali adalah sebaik-baik
keputusan yang pernah kubuat.
“Dengar, Ren kamu ingin tahu
apa yang aku rasakan selama ini? Aku kehilangan diriku sendiri, aku tak lagi
bisa mengekspresikan perasaanku seperti biasa karena takut kamu anggap lebay. Aku
tidak lagi bisa membedakan mana rasa bahagia, sedih, rindu, galau, dan
sejenisnya karena kamu tidak mau dibebani dengan perasaan-perasaan semacam itu.
Aku membuang jauh-jauh rasa kesal, kecewa, marah, dan sebagainya demi menjaga
perasaanmu yang bangsatnya kamu saja tidak memikirkan perasaanku. Aku selama
ini memberi kamu kesempatan lagi dan lagi, tapi kamu? Kamu sama saja, Ren tidak
pernah beranjak sedikitpun menjadi pribadi yang lebih baik.”
“Kie… please.”
“Tunggu, aku belum selesai bicara.
Sudah lelah aku terus-terusan mengalah demi kamu. Keputusanku sudah bulat, aku
tidak mau menjadi bodoh terus menerus dengan menerima kamu lagi dan lagi. Kamu hanya
merasa nyaman karena selalu memiliki tempat untuk kembali, bukan karena aku. Kamu
hanya menyayangkan waktu dan perjuanganmu sendiri, bukan akunya. Jadi, cukup. Terlalu
banyak waktuku yang terbuang hanya untuk menangisimu setelah kamu memberi keputusan
itu. Lalu sekarang kamu seenak jidat ingin kembali lagi? Aku rasa kamu bukan
hanya tidak memiliki hati tapi juga muka. Sudah, keretaku sebentar lagi datang.
Sengaja aku memilih keberangkatan paling pagi, agar aku tidak mengenangmu lebih
lama lagi. Kamu tidak perlu mengantarkan aku, kenang saja aku sesukamu. Sebab perasaan
untukmu telah sempurna mati di stasiun kala itu.”