Rabu, 07 Maret 2018

Nona Teh : Sepertinya Untuk Tuan Kopi

Diam-diam rintik mulai menghampiri bumi, menebarkan aroma tanah basah. Malam ini akan menjadi malam yang dingin batinku. Aku dapat melihat rintiknya dari kaca jendela. Perjalanan kali ini mungkin akan terasa sedikit berat, namun aku sudah siap. Pikiranku mulai menerawang pada hari-hari yang telah tertinggal di belakang.

Kilat menggapai-gapai segala yang dapat ia capai. Kamu selalu senang melihat kilat-kilat itu dari kejauhan, sedangkan aku akan bergidik dan menangkupkan tangan pada telinga ketika kilat mulai menyambar—reflek ketika aku merasa takut. Kamu akan menceritakan masa kecilmu yang nakal dalam versimu. Kamu bercerita panjang lebar dengan sesekali menyesap kopi, minuman favoritmu. Em, terkadang juga kamu memesan vanila late. Entah apa yang kamu sukai dari kedua minuman itu. Kamu bercerita banyak tentang keinginanmu. Katamu, kamu ingin bertualang di negeri sakura, lalu kamu akan menyusuri jalanan dan mencicipi kopi-kopi angkringan, ingin memberi juara katamu. Sesekali kamu menggodaku dengan lelucon garing namun aku tetap tertawa dan mencubit lenganmu.


Seperti yang sudah-sudah, kamu akan memesankan aku es teh dengan gula yang sedikit. Lalu kamu akan memesan cemilan yang luar biasa pedas, aku tak akan menyentuhnya seperti tidak akan ikut menyesap kopimu.

Kamu akan bersenandung kecil ketika kita sedang dalam perjalanan, lalu aku akan mengikuti senandungmu. Kita gila berdua di jalan, lebih tepatnya di atas motor. Katamu, aku satu-satunya yang bisa membuatmu jungkir-balik hanya karena aku tidak membalas pesan-pesan yang kamu tinggalkan pada aplikasi chatting. Kamu selalu terobsesi dengan senja, aku pun begitu. Meski terkadang kita berbeda paham mengenai senja. Mengenai senja, aku jadi teringat tentang gelisahnya burung-burung kembali ke rumahnya. Bagiku rumah dapat berarti rumah, sebuah ruangan, kota, suatu tempat, ataupun hati.

Aku kira aku telah mengenalmu sebaik aku mengenali diriku sendiri, ternyata tidak. Kamu tetap manusia yang sulit aku tebak dan kupahami. Atau kita yang tidak bisa saling memahami?

Rintik di luar sana semakin deras, memburamkan pandang ke sekeliling di luar sana. Udara dingin dengan ingatan-ingatan lalu menjadi kolaborasi menarik untuk sesak dalam dada. Terdengar sayup-sayup suara perempuan menawarkan minuman hangat, sepertinya ketika ia sampai di dekatku aku akan memesan secangkir teh hangat untuk mendamaikan hati yang sedari tadi gelimpangan bukan main.

Kamu akan memilih duduk di sebelahku ketika kita akan makan, entah mengapa. Padahal aku lebih suka kamu berada di depanku agar aku dapat mengamatimu lebih lekat. Kita tidak sesering itu bukan, untuk makan di meja yang sama? Kamu akan merajuk jika aku terlalu sering membalas pesan-pesan yang menanyaiku banyak sekali. Lalu kita akan sama-sama membisu, hingga aku bersuara, "Udah?". Setelah itu kamu akan mengambil ponselku dan kamu simpan dalam saku atau tas kecilmu.

Manusia mungkin terlalu sering bermimpi, perempuan sepertiku mungkin terlalu berani memilih warna untuk sebuah kanvas. Kamu, yang katanya akan menemaniku mengguratkan segala ternyata tidak selamanya ada. Kita terlalu banyak beda, kita tahu betul tentang itu. Aku berada di kota yang kalah nama dengan kotamu, kota kita bukanlah tempat kita lahir dan bertumbuh. Ini adalah kota antah berantah yang kita pilih untuk mencari banyak definisi. Lalu aku akan memilih kotamu sebagai rumah dari segala resah dan bahagiaku, bukan karena ada kamu atau siapapun didalamnya. Tetapi, murni karena aku jatuh pada kota itu mungkin sejak pertama kali aku memahami tempat dan daerah.

Kamu yang awalnya ku kira sebagai rumah dari segala rasa yang berseliweran dalam benakku mungkin belum direstui Tuhan untuk menjadi senyatanya rumah seperti yang kita impikan. Kamu memilih perempuan yang sering bertemu denganmu—sering melakukan aktivitas berdua, dibanding aku yang tidak ada apa-apanya. Kamu memalingkan wajah, namun sesekali sempat menengok ke arahku. Entah apa maumu aku tak mengerti.

Saat itu tepat ketika aku sedang dalam perjalanan menuju kotamu dan kamu berjanji akan menemuiku di stasiun seperti yang sudah kita rencanakan. Niatnya ketika sampai aku akan mengabarimu bahwa aku telah mendapat restu untuk melanjutkan kuliah di pulau seberang, seperti yang pernah kita bicarakan waktu itu disebuah angkringan andalanmu. Namun kamu justru memulai pembicaraan kita dengan, "Terima kasih, aku tahu kamu akan berhasil di sana. Tapi maaf, aku tidak lagi bisa bersama. Aku sedang sibuk dengan segala urusanku, mungkin juga aku sedang jatuh pada seorang perempuan dengan bola mata cokelat terang asli kotaku. Maaf, Kie karena apa yang kamu nanti mungkin tidak sama dengan kenyataan yang ada." Lalu kamu berbalik melangkah menjauh dan membiarkanku berdiri terpatung ditengah hiruk-pikuknya stasiun ini.

Rintik di luar sudah tinggal sisanya, ponselku bergetar. Aku menggeser tombol hijau tanda terima telepon, keretaku akan segera sampai. Kaca jendelaku masih basah, sedikit berembun, namun cukup untukku melihat pemandangan luar, dimana motor-motor berjejer rapi di belakang palang. Saat itu ketika menunggu kereta lewat kita akan berlomba menghitung berapa banyak roda pada satu gerbong. Tentu saja kita akan mengarang bebas dan tertawa bodoh setelahnya.

Hatiku masih saja gelimpangan walaupun tehku telah sempurna habis. Keretaku melaju lambat pertanda akan segera berhenti. Aku merapal beberapa doa agar sedikit tenang, kamu telah menunggu di depan. Kabar apa yang ingin kamu sampaikan, sampai-sampai memintaku menemuimu setelah sekian lama tertelan bumi?

2 komentar: