Minggu, 25 Oktober 2015

Apakah Ini Tentang Waktu dan Jarak?


Namamu tiba-tiba saja menusuk tepat pada dada sebelah kiri. Menghujam, mencabik, hingga luka-luka yang tersisa. Sisa-sisa kekuatan yang kukumpulkan menjadi seulas senyum penuh kesakitan aku mencintaimu luar biasa. Menyeka air mata, meraba segenap duka pada jemari yang bisu untuk menggenggam dalam jarak. Merapal agar waktu tetap ada untuk menatap dunia yang ada pada kedua bola mata. Jarak tetaplah jarak. Usang, terbuang menjadi butir-butir kesedihan. Frasaku selalu sakit hati, kau tahu?

Rasa itu usang terkikis rindu yang lalai menyapa lenganmu, menbelai wajahmu, juga menjelajah dunia yang ada pada kedua bola matamu. Senja ini kembali gelombang air mata menjadi hiasan. Merindukanmu, candu luka yang terus kupupuk menjadi rasa sakit yang tak terperi. Menyisi pada gambar dua dimensi, dimana kau dan aku menjadi pemeran utama ketika dunia kita saling beradu. Menyelami perasaan masing-masing, mereka senyum dan kau mengikuti dengan senyum yang diiringi tawa. Manis.

Kau membuatku memunculkan pertanyaan retoris, “siapa aku bagimu?”, “apa artinya aku untukmu?”, dan “seberapa pentingkah kabar dariku?” Pertanyaan-pertanyaan itu berotasi hingga kupu-kupu dalam perut seakan melesak keluar, membuat pening.  Menjadikan kepercayaan sebagai sandaran, aku mempercayaimu dengan seribu amin. Tanpa sebab dan tanpa tedeng aling-aling, aku percaya kau dengan sebesar-besarnya percaya. Meyakini bahwa kau di luar sana juga merindukanku, menjadikan aku rumah bagi segala lelah yang tak pernah kau sematkan pada bahu.

Aku berhak menangis bukan? Oh iya, aku belum bisa menahan tangis seperti yang kau inginkan. Aku tak bisa terus tersenyum dan besikap seolah tak terjadi apa-apa. Aku tak bisa. Inilah aku dengan segala kekurangan dan ketidakmampuanku. Mengapa, bukankah aku sudah berkata diawal bahwa frasaku selalu sakit hati? Terdengar miris? Aku tak peduli. Aku hanya menulis apa yang sedang melintas dalam kepala sebelum segalanya menguap bersama air mata yang tak pernah kau seka.

Waktu selalu ada, jadi jangan jadikan alasan bila kau tak bisa menemuiku. Jika kita tak pernah menyempatkan waktu, selamanya kitya tak akan pernah sempat dan menjadikan alasan “sedang tidak ada waktu” sebagai kambing hitam. Basi.

Segalanya menjadi abu, terbang bersama udara yang kau hirup dan lepas bersama karbondioksida. Membuat angan-angan pada gemintang yang menggantung di angkasa, setelahnya gugur dengan hujan pada hati yang kemarau sebab luka yang tak terduga.
15 Okt. 15

Minggu, 11 Oktober 2015

Berbahagialah, Puan.



Selamat malam, seseorang yang berada di sudut kota sana. Hi, kalian berdekatan bukan? Semoga hatimu tetap menjadi puan yang menawarkan segala rasa. 

Malam kesebelas di bulan Oktober ini semoga terlewatkan dengan seutas senyum yang tak terpakasa. Puan, kau ialah puan yang tak sepantasnya meratapi keadaan. Tangismu terlalu berharga untuk sebuah rasa yang tak terlihat bagaimana akan dibawa. Segalanya masih abu bukan? Aku pernah merasakannya, rasanya aneh. Tetap merindu meski terabaikan, tak terlihat. Tetap memperhatikan meski jelas tak diperhatikan. Tetap mencintai meski tertatih melawan peri.

Rasa itu luar biasa, lebih dari yang kau dan ia kira. Rasa itu aneh, kau bisa terjemahkan? Aku rasa tidak. Biarkan aku menjadi yang paling sok tahu di antara kalian berdua. Biarkan aku mengatakan tanpa adanya jeda dan interupsi dari kalian berdua. Aku sudah bilang, biarkan aku menjadi yang paling tahu tentang kalian, meski aku tak seutuhnya tahu.

Dalam sebuah hubungan harus ada sebuah kejelasan bagaimana hati akan dibawa. Bila memang mengharuskan tak bersama, jangan sampai ada hati yang sama-sama terluka karena setelah itu tak ada lagi sapaan di ujung telepon, tak ada lagi senyum khas yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata semata. Jangan. Iya, memang hati butuh waktu yang sangat angkuh itu untuk membalikan keadaan. Tetapi, bisakah rasa yang ada dalam hatimu kau urai kembali untuk puan yang satu ini? Sedikit saja, tanpa melukai lagi, tanpa goresan halus yang diam-diam menyimpan segala peri. Separuh hati yang telah sepenuhnya terisi itu, ialah melodi paling tulus untuk kau dengarkan. Puan itu, memberikan hatinya untuk seorang yang tengah membentangkan dunia ambigu yang sedang diselami tanpa tahu apakah dangkal atau dalam dunia yang ia selami.

Tuan dan puan. Aku menyebut kalian seperti itu saja, tanpa maksud mendiskriminasikan atau menyinggung perasaan satu sama lain. Aku pernah menjadi kalian. Rasanya sangat sakit, berlarut-larut dalam ketidakpastian. Tuan, kau pasti pernah bermain layang-layang kan? Kalau begitu, kau pasti tahu bagaimanya teknih bermainnya bukan? Iya, benar sekali, tarik-ulur. Pasti kau juga tahu bagaimana rasanya ketika tanganmu tergores oleh senar yang melangitkan layang-layangmu. Rasanya sakit. Sama halnya ketika sebuah hubungan ditarik-ulur terus menerus. Rasa yang aneh ditambah rasa serba salah yang mengakibatkan sesak disetiap malamnya, rasa aneh ketika bertatap muka. 

Jika memang tidak bisa saling menggenggam sebagai sepasang puan dan tuan yang saling menyesap madu, bisakah kalian menjadi sepasan adik dan kakak yang saling menyayangi tanpa celah bagi pihak lain mengganggu? 

Apakah kau tahu, Tuan bahwa hati yang acapkali kau abaikan itu memiliki rasa yang teramat tulus untukmu, hingga ia tak mengetahui lagi bagaimana hatinya kini. Rasa itu sangat menyiksa terlebih tanpa adanya sepatah kata dirimu untuk meyakinkan hatinya agar tetap baik-baik saja? Kau mungkin tak tahu, maka aku akan memberi tahumu sekali saja, luangkanlah sedikit waktu dari banyaknya kesibukan yang kau alami. Hanya untuk memberikan frasa yang membesarkan hati puian ini. Tolong. Hati puan ini tertatih menahan segala yang tak tersampaikan dalam hatinya.

Puan, malammu tak akan lebih panjang dari sisa-sisa malam sebelumnya. Kembali pada hati, harimu terlampau besar untuk rasa yang hanya sejengkal. Berbahagialah, duniamu indah tanpa air mata luka.

11 Oktober 2015

Untuk seorang puan di sudut kota sana.
Tersenyumlah, kau pantas mendapatkan
bahagia tanpa pihak lain disela-selanya.

Regards.

-QEW-