Rabu, 10 Desember 2014

Rindu.

Aku menyeret sebuah bangku menuju keluar ruangan. Sesaat aku merasa seperti terlempar pada salah satu keping kenangan, bedanya kali ini aku tak bersama dia, miliknya, dan seseorang yang entah di mana keberadaannya. Tak ada satupun, kecuali adik kelas yang berlalu lalang di ujung sana. Mereka adegan sambil memandang hujan, juga meresakan dingin yang mendekap jiwa. Seandainya saja rindu bisa luruh tanpa bertemu, seandainya pula rindu tak memaksa menjadi candu. Aku tentu tak sesekarat ini, berbisik lirih pada angin yang menerpa, rindu.

Ruangan ini sepi, bukan berarti tak ada penghuni, melainkan mereka sibuk dengan urusan masing-masing, dengan pikiran masing-masing, juga dengan dunia masing-masing. Rindu selalu sendu seperti hujan yang selalu menjadi pemantik rindu. Kurang lebih analoginya begitu. Hujan-sendu-rindu. Entah rindu kepada siapa, karena apa, dan merindukan apa. Yang kutahu hanya rindu yang terus mengganggu dan selalu ingin menjadi nomor satu.

Rindu tak hanya kepada seseorang kesayangan tetapi juga kepada apapun yang tak lagi bisa terulang, kenangan misalnya. Kenangan pun tak melulu tentang seorang kesayangan di masa lalu, mungkin juga kepada seorang teman yang tak tahu bahwa dirinya sedang dirindukan.

Bawa aku terbang bersama angin yang menerpa tubuhmu perlahan, lalu hirup angin itu dan aku akan berada dalam jiwamu semampu kamu dan aku bertahan. Aku tak mau mengatakan selamanya, karena aku tahu kata selamanya tak selalu berarti yang sama. Apa aku trauma? Mungkin iya, tapi biarkan trauma itu menjadikan pelajaran bahwa tak perlu menjanjikan hal yang belum tentu akan terjadi juga ditepati. Karena janji-janji itu akan mudah dipercayai dan lebih mudah lagi untuk mencabik isi hati.

Jarak pun mengajarkan kita bagaimana caranya merindu juga menahannya agar tak meledak pada saat dan situasi yang tidak tepat. Tapi, sering kali rindu meledak menjadi kristal bening yang mencari muara. Yang aku tahu, selain bisa menjadi pemicu pertemuan rindu pula dapat menjadi pemicu perpisahan.

11 Desember 2014
Gedung RPL atas barat.
Saat hujan yang sendu menjadi pemantik rindu.

Regards.


-QEW-


Kamis, 13 Februari 2014

Tahu Diri (cerpen)

Hai, selamat bertemu lagi
Aku sudah lama menghindarimu
Sial ku lah kau ada di sini
Sungguh tak mudah bagiku
Rasanya tak ingin bernafas lagi, tegakberdiri didepanmu kini
Sakitnya menusuki jantung ini
Melawan cinta yang ada di hati

Rana telah menyelesaikan pendidikannya di bangku sma. Ia memutuskan untuk kuliah dan tinggal bersama neneknya di Yogyakarta. Selain ingin melanjutkan kuliah di universitas yang sejak dulu ia impikan ia juga berniat untuk melupakan seseorang yang telah membuat luka di hatinya.

Rana. Seorang perempuan yang cantik, anggun, dan baik jatuh cinta kepada kakak kelasnya di sma yang hanya menganggapnya adik kecil. Ialah Rangga. Ia jatuh cinta kepada Rangga sejak pertama kali masuk sekolah. Ia ingat betul perkenalan mereka yang singkat, saat itu ia bersama dengan teman sebangkunya yang baru saja dia kenal sedang duduk sambil menunggu istirahat sholat. Lalu Rangga masuk ke kelasnya dan berbincang-bincang. Mereka tak saling menyebutkan nama, tetapi mereka tahu dari ID Card yang mereka kenakan.

Beberapa bulan setelah peristiwa itu Rana mulai membuang rasa tertariknya kepada Rangga dan mencoba membuka hati untuk orang lain. Saat Rana hampir berhasil mengusir rasanya kepada Rangga tiba-tiba ia muncul di inbox hpnya. Ia tak tahu Rangga mendapakan nomor hpnya dari siapa. Saat itu Rana merasa sangat senang karena telah dihubungi oleh seseorang yang terkenal di sekolah dan orang yang berhasil menggantikan sosok mantannya di hati Rana.

“Ran, lo yakin sayang sama kak Rangga? Gue denger dia udah punya pacar loh Ran.” Nadia-teman dekat Rana-berbicara seperti itu saat ia sedang menikmati mie instan di kantin.

“Hah? Pacar? Siapa?” Rana tersedak dan meminum es tehnya yang tinggal separuh.

“Itu anak kelas dua belas, dulu ketua eskul majalah sekolah.” Ucap Nadia setengah berbisik.

“Oh, yang itu. Ya, pantes lah. Tapi kenapa dia sms aku, kamu tau sendiri lah smsnya kayak apa.” Rana mengedarkan pandangnya ke sekeliling kantin. Dilihatnya Rangga sedang bermain basket di lapangan dengan Bayu teman sekelasnya. Tak disangka Rangga juga melihat dan tersenyum  manis kepada Rana. Rana pun membalas senyuman Rangga tanpa mengindahkan Nadia yang memperhatikan Rana.

“Iya, sih, tapi dia udah punya pacar Rana.” Setiap kata dari Nadia diberikan penekanan seolah Rana adalah anak kecil yang sulit mengerti.

“Terserah deh Nad, gue pusing.” Nadia paham sekali kalau Rana sudah seperti ini pasti dia sudah dilanda ke-badmood-an.

Dan upayaku tahu diri
Tak selamanya berhasil
Apabila kau muncul terus begini
Tanpa pernah kita bisa bersama
Pergilah... menghilang sajalah, lagi...

Rana satu langkah lagi berhasil menepis bayang-bayang Rangga di hatinya. Tapi, Rana lupa kalau Rangga juga berada di Jogja, kota yang sama dengan Rana kini dan tak menutup kemungkinan bahwa mereka masih bisa bertemu.

Benar saja, saat Rana bersama dengan temannya bernial membeli novel di toko buku yang cukup terkenal di Jogja Ia bertemu dengan Rangga. Rana merasa hatinya yang telah membaik kini sama dengan dahulu saat Ia masih berada satu sekolah dengan Rangga.

Rana buru-buru menarik temannya keluar dari toko itu. Ia tak seperti tak mampu lagi bernafas, dadanya sesak tiap kali melihat Rangga. Tanpa sepengetahuan Rana, Rangga mengikutinya hingga Rana sampai di rumah neneknya.

Rumah bergaya tradisional dengan ayunan kayu didepan rumah dan tanaman peneduh membuat kesan yang menyejukkan.

Tok! Tok! Tok! “Assalamu’alaikum.” Suara pintu yang diketuk dan salam membuyarkan pikiran Rana tentang peristiwa siang tadi di toko buku. Rana bertemu lagi dengan lukanya, luka yang selama ini dikuburnya dalam-dalam kini muncul lagi kepermukaan.

“Wa’alaikum salam. Iya, sebentar.” Rana bergegas membuka pintu. Setelah pintu terbuka Ia kaget bukan main karena didapatinya Rangga yang tengah berdiri didepan pintu rumah Rana.

“Ran.” Sapa Rangga canggung. Rana tak tahu harus bertingkah seperti apa. Ini kali pertamanya Rana melihat Rangga dalam jarak yang cukup dekat.

“Eh, kak Rangga. Ada apa kak? Kok tau alamat rumahku.” Setengah hati Rana merasa senang juga sedih karena pria dengan tinggi 170 cm yang telah berkali-kali mematahkan hatinya itu kini berada tepat didepannya.

“Tadi kakak liat kamu di book store, tapi kamu buru-buru pergi. Jadi, kakak ngikutin kamu sampe rumah.” 
Penjelasan Rangga membuat Rana lebih kaget lagi. Melihatnya dan mengikutinya sampai rumah adalah suatu hal yanget lagi. Melihatnya dan mengikutinya sampai rumah adalah suatu hal yang menyebalkan bagi Rana. Ia dilema, antara senang dan sedih.

“Mau masuk atau diayunan aja kak?” Tanya Rana bersikap sopan.

“Diayunan aja Ran, sore sore gini liat sunset disawah bagus juga Ran, kebetulan aku bawa kamera jadi, bisa ambil objek.” Jawab Rangga panjang lebar sambil melangkah menuju ayunan yang berhadapan dengan sawah.

“Ran, jujur ya, kakak itu kangen banget sama kamu. Sejak kakak lulus kita ga perah contact-an lagi kan? Tapi kenapa kamu kok kayak menghindar dari kakak Ran? Kamu marah sama kakak karena ga hubungin kamu lagi?” Tanya Rangga kepada Rana yang sejak tadi hanya diam.

“Eng-enggak kok kak.” Ia membohongi perasaannya sendiri. Sebenarnya, Ia kecewa sekali karena Rangga tak menepati janjinya ketika pengumuman kelulusan. Rangga memang pernah berjanji kepada Rana akan menjelaskan semuanya, alasanya menghilang dari Rana dan alasannya tak pernah mau bersikap biasa saja setiap bertemu dengan Rana.

“Kamu nggak lagi bohong kan Ran?” Sial, batin Rana. Kenapa Ia tahu kalau Rana sedang berbohong?

“Enggak kok. Aku Cuma kecewa karena kakak ga nepatin janji kakak dulu. Kakak tau, aku nunggu kakak sampe sore tapi kakak ga hubungin aku atau nemuin aku.” Rana berusaha menahan air matanya.

“Maaf de, kakak ga bermaksud ninggalin kamu. Sebenernya kakak mau ngomong sesuatu sama kamu. Tapi, nomer hp mu udah gak aktif, kakak coba hubungin kamu lewat dunia maya tapi kayaknya udah kamu blokir semua.” Penjelasan Rangga membuat Rana merasa bersalah. Memang, sejak sore itu, Rana memblokir facebook dan mengganti nomor hpnya.

“Maaf kak. Aku kalut, aku kecewa banget waktu itu.” Rana menatap Rangga yang sedang mengelurkan kamera dari tasnya.

“Iya, gak papa de. Sebenernya, kakak itu sayang banget sama kamu de, kakak bersyukur banget bisa ketemu lagi sama kamu. Kakak fikir, kakak udah ga bisa lagi ketemu sama kamu.” Rana tak mempercayai pendengarannya. Kata-kata Rangga telah menerbangkan kembali hatinya yang semula jatuh didasar.

“Ha?” Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir Rana. Rangga tersenyum tipis. “Iya, kakak sayang sama kamu. Tapi untuk saat ini kita gak bisa bersama.” Baru detik yang lalu Ia melambungkan hati Rana kini Ia kembali menjatuhkannya.

“Ke-kenapa?” Rana tak kuasa lagi untuk menahan air mata. Ia menangis lagi untuk Rangga.

“Karena... ah kamu gak perlu tau de.” Jawab Rangga singkat seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
Waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Rangga pun berpamitan pulang. Tetapi, sebelum ia pulang Rangga meminta nomor hp Rana yang baru.

Setelah sore itu Rangga tak pernah lagi datang ke rumah Rana juga hanya sesekali menghubunginya. Rasa sesak kembali menyelimut hati Rana. Ia selalu bertanya-tanya mengapa Ia tak pernah bisa melupkan Rangga dan menggantinya dengan orang lain?

Bye, selamat berpisah lagi
Meski masih ingin memandangimu
Lebih baik kau tiada disini
Sungguh tak mudah bagiku menghentikan segala hayalan gila
Jika kau ada dan kucuma bisa meradang menjadi yang disisimu
Membenci nasibku yang tak berubah

Malam Minggu ini Rana menghabiskan waktunya di rumah, kebetulan malam ini saudaranya dari Bali sedang ke Jogja untuk liburan. Jadi, Rana sedikit tak memikirkan Rangga yang entah apa kabarnya kini.

“Ran, kamu udah punya pacar?” Pertanyaan Zidan sangat menyinggung perasaan Rana. Seketika itu ia teringat pengungkapan perasaan Rangga. Andaikan waktu itu Rangga langsung meminta Rana untuk menjadi kekasihnya, pasti Rana tak perlu memikirkan lagi hal yang tak pasti.

“Belum.” Jawab Rana singkat.

“Kamu kenapa Ran? Suntuk? Ke alun-alun aja yuk.” Pinta Zidan setelah menyadari raut wajah Rana yang berubah.

“Yuk, bentar aku ganti baju dulu.” Ucap Rana semangat.

Sesampainya mereka di alun-alun, Rana tak sengaja melihat Rangga sedang bersama perempuan yang sering dilihatnya tapi, Rana tak mengetahui siapa namanya. Ia juga melihat Rangga sedang meminum obatnya. Selama ini Rana tak tahu apa yang sedang diderita Rangga. Baginya, mendoakan Rangga diakhir solatnya adalah obat bagi rasa rindunya yang tak bisa diwujudkan.

“Dan, pulang yuk cepet.” Pinta Rana sambil menahan air matanya.

“Kenapa?” Zidan yang menyadari air mata Rana telah menitik dipipi pun segera mengajaknya ke mobil untuk pulang.

Tanpa sepengetahuan Rana, ternyata Rangga mengidap penyakit jantung yang bisa kapan saja menghentikan hidupnya. Rana juga tak tahu kalau perempuan yang bersama Rangga itu adalah kakak Rangga.

Berkali-kali kau berkata

Kau cinta tapi tak bisa

Berkali-kali ku tlah berjanji

Menyerah...

Saat Rana sedang bersantai di perpustakaan kampus, Ia dikejutkan oleh kedatangan seorang perempuan yang kemarin dilihatnya bersama Rangga. Perempuan itu memperkenalkan diri, "Rana ya? Aku Sinta, kakaknya Rangga." Rana terkesiap, Ia tak meyangka bahwa kakak Rangga datang menemuinya.

"Iya, kak aku Rana. Maaf ada apa kakak nyari aku?" Tanya Rana berusaha sopan.

"Ada yang harus kamu tahu, De. Ini soal Rangga, dia kritis. Jantungnya kambuh lagi, sebelum dia kritis dia nitip ini dan pesan agar kamu njenguk dia." Kak Sinta menyerahkan secarik kertas. Rana tak bernani membukanya sekarang. Ia terlalu takut dan panik mengetahui Rangga yang selama ini mengidap penyakit jantung.

"R-rangga? Kritis kak? Aku boleh ke sana?" Tanya Rana cemas sambil menahan air matanya yang bisa pecah kapan saja.

"Boleh, mau sekarang?" Rana mengangguk.

                                                                           ****
Rana menunggu Rangga hingga larut malam, kakak dan orang tua Rangga pun telah menyuruhnya untuk beristirahat. Namun Rana tak mau beranjak dari sisi tempat tidur Rangga sambil terus mendoakan kesehatan Rangga agar cepat membaik. 

Rangga siuman sejenak dan berkata pada Rana, "Bagaimanapun kamu, kamu tetep adik kecil kakak, De. Kakak gak mau nyakitin atau ngerepotin kamu dengan kondisi kakak yang kaya gini. Kalo kamu mau tau alasan kakak gak nepain janji waktu perpisahan ya, karena penyakit kakak ini kambuh, De. Maaf kakak gak bisa lagi sama-sama kamu. Kakak sayang kamu, De." Rana terisak. Bahunya naik turun tak teratur. Apa ini pesan terakhir Rangga? Rana tak mau kehilangan dia.

Rana tak kuasa lagi untuk berdiri, Ia duduk di sofa dekat tempat tidur Rangga yang kini telah dikelilingi oleh keluarganya. Hingga Ibu Rangga menjeritkan namanya, Rana makin terisak. Ia sadar ini adalah akhir dari semuanya.

Kini Rana setahap lagi berhasil melupakan Rangga berikut dengan rasa yang telah lama mengendap di dasar hati Rana. Rana juga telah mengikhlaskan Rangga yang telah pergi selamanya dari hidup Rana. 

Rana menaruh seikat mawar putih di atas pusara Rangga. Lalu Ia meninggalkan tempat itu dengan rasa sakit yang tak bisa lagi diungkapkan dengan kata-kata. Kini Rana telah menutup ceritanya bersama Rangga dengan kalimat terakhir ‘kamu telah bahagia, aku pun ingin bahagia. Jadi, biarkan aku mencari kebahagiaanku sendiri, tanpamu.’