Apa kabar, Tuan? Masihkah ingat ddengan puan yang satu ini?
Aku tak ingin beretorika, apalagi perih(al) rindu. Tidak, Tuan.
Tuan, aku hanya seorang puan yang hanya mengerti bagaimana
cara meratap tidak dengan bagaimana selesai dari ratapan. Perih(al) rindu tak
perlu kusebutkan, sebab jika kau ingin tahu tentang rindu kau sendiri yang
harus merasakan bagaimana menahan dan meledakkannya. Aku sedang rindu? Iya,
memang aku sedang rindu tetapi bukan rindu seperti yang kau bayangkan. Rindu
ini bukan rindu yang aku inginkan. Sangat bertolak belakang. Tetapi, entah
mengapa aku selalu mengalami rindu yang seperti ini.
Cukup. Aku tak ingin membahas rindu lagi. Bukankah kau juga
muak mendengar kata rindu?
Tuan, aku hanya seorang puan yang tak memiliki hati setegar
karang. Aku luka, tentu saja. Tetapi, apa yang bisa aku perbuat? Bukankah salah
jika aku merengek padamu? Bukankah salah pula jika aku tak memberi tahumu?
Lalu, aku harus berlaku seperti apa, Tuan?
Baik. Paragraf di atas adalah pertanyaan retorik yang tak
akan pernah kau jawab.
Tuan, aku sedang tidak ingin mendengarkanmu. Saat ini aku
hanya ingin didengarkan, kau cukup membaca hingga akhir tanpa komentar, tanpa
perasaan aneh dalam benakmu. Cukup baca dan lupakan setelahnya.
Tuan, aku hanya seorang puan yang membutuhkan sandaran. Kau
tahu, bertindak menggunakan logika ternyata cukup menyiksa, tetapi asyik juga.
Aku bisa menjadi orang lain karena itu. Tuan, sampai kapankah kita seperti ini?
Apa kau tak tersiksa dengan keadaan seperti ini? Tuan, aku benci untuk meratap.
Tapi aku hanya puan yang tak memiliki apapun, kecuali hati. Tuan, katakanlah
sesuatu agar aku jera, agar aku paham tanpa kau hukum dengan bungkam. Tuan,
berlaku seperti ini tidaklah mudah.
Aku hanyalah puan yang menjadikan dirinya sendiri sebagai
senandung ironi. Miris menyayat hati tanpa genggam penuh kekuatan. Aku hanya
sendiri, Tuan. Bisakah kau paham akanku? Di antara rindu yang ribuan kali aku
kesampingkan, di antara hati yang berulang kali kusangkal, dan di antara tatap
pada ruang hampa ini datanglah lagi dengan atau tidak hati yang dahulu kau
tawarkan. Rengkuhlah sejenak hati yang kepingnya tak lagi berwujud ini.
Tidakkah kau tahu, aku telah mengesampingkan segala ego,
segala gengsi, pula harga demi menanti
kau datang lagi.
Tuan, sebetulnya aku iri dengan mereka yang bisa bertemumu
tanpa kau katakan sebuah sebab yang selalu kaukatan padaku. Aku ingin menjelma
menjadi salah satu dari mereka. Aku ingin diam-diam mengamatimu lalu tanpa
sadar aku akan tersenyum sendiri melihat senyummu yang bukan karenaku. Aku
ingin, aku iri, Tuan.
Bisakah aku menjadi puanmu yang sesungguhnya, meski kutahu
itu tidaklah mungkin. Aku luka, Tuan. Apakah itu belum cukup bagimu?
13 Maret 2k16
Malam panjang.