Tiba-tiba saja rindu menyergap dari segala sisi
ruangan ini. Cuaca sedang dingin-dinginnya ketika aku dipertemukan kembali
denganmu. Selepas hujan memang dingin bukan? Bukankah hujan selalu sesendu itu?
Langkahku sedikit terhambat lebih ke gemetar tak siap jika harus kembali
menatapmu. Dengan kenangan yang sudah seperti bom waktu yang siap meledak
langkah kaki menuju pintu keluar menjadi berjarak sepuluh kilometer.
Luka itu masih
begitu segar ketika kamu memutuskan sebagai keputusan. Tidak ada yang perlu
dipertahankan karena mempertahankan sesuatu yang tidak ingin bertahan adalah
suatu kemustahilan. Sisa perjalanan turut memberatkan hati untuk bergegas
menemukan pintu keluar.
Tiba-tiba
kamu sudah muncul di ambang pintu keluar. Rapal doaku juga tak sempurna mengusir segala
gusar yang ada. Kamu telah menunggu, aku bisa menemukan sosokmu di antara
orang-orang yang berjubel di sana. Hatiku masih menebak-nebak kabar apa yang
akan kamu bawa setelah sekian lama ini. Menebak-nebak apakah kamu akan memelukku
ketika kamu menjemputku di stasiun, memesankan aku es teh, menyanyikan
lagu-lagu yang kamu suka ketika berada di atas motor, memakaikan jas hujan
seperti anak TK, menghitung roda kereta api, dan banyak lainnya.
Ternyata benar, rindu yang begitu muluk ini menginginkan tempat berteduh.
Ialah dada dan bahumu yang entah harus aku apakan nanti. Tiba-tiba jarak
menjadi sangat dekat, aku sudah berada dihadapanmu, lalu kamu dengan santai
merengkuh dengan penuh kerinduan. Aku tak mengerti seutuhnya, kamu yang membuat
keputusan tapi kamu juga yang menginginkan itu semua kembali. "Hai."
Sapamu, ketika aku sudah tepat dalam dekap. Pengeras suara memanggil-manggil
penumpang yang akan menaiki kereta yang kunaiki tadi, dua menit lagi akan
berangkat katanya. Lalu kamu mengusap kepalaku dan bertanya, "Apa
kabar?".
Apa yang sebenarnya ada dalam hati dan kepalamu? Kamu akan menggenggam
tanganku dan memakaikan jaket yang kamu pakai untukku. “Dingin, nanti kamu
masuk angin.” Aku hanya terdiam dengan segala tingkahmu, sesekali mengangguk
dan tersenyum. Masih belum bisa memahami sepenuhnya apa yang sebenarnya kamu
lakukan.
Di atas motor kamu bercerita banyak, seolah tidak ada yang pernah terjadi
di antara kita. Kamu menceritakan hari-harimu ketika tidak bersamaku,
menceritakan perempuan bermata coklatmu itu, hingga kamu sudah memarkirkan
motor di angkringan kesukaanmu.
Bapak penjual angkringan menyapa, "Lho, udah lama nggak ke
sini, Mas kirain udah bubaran." Aku tersenyum saja dan kamu menjawab,
"Hehe, iya pak."
"Pesenannya kaya biasa tho, Mas es teh gulanya dikit sama kopi
item?" Tanya bapak penjual angkringan itu yang sudah hafal di luar kepala.
"Nggih pak." Sahutmu. Kamu masih melakukan hal-hal yang biasa kita
lakukan. Memesankan aku es teh dengan gula yang sedikit dan memesan kopi hitam
kesukaanmu itu.
"Kabarku baik, tapi tidak sebaik ketika bersamamu dulu. Segalanya
seolah muram. Bisa dikata aku menyesal. Tapi tidak apa, mungkin itu akibat yang
harus aku dapatkan. Kie.." Kamu menatap ke arahku sungguh-sungguh,
"Maaf, aku yang mengajakmu membuat rencana masa depan tapi aku juga yang
menggugurkannya." Lalu kamu meraih tanganku, seperti biasa ketika kamu
membuat pengakuan atas kesalahan-kesalan yang selalu kamu ulangi lagi.
“Sebenarnya apa maumu? Apa kabar perempuan bermata coklat itu? Kamu apakan
dia?” tanyaku tanpa aling-aling.
“Kita menyadari bahwa kita sepenuhnya berbeda, meski telah diusahakan dengan
seluruh tenaga.” Kamu menghela napas panjang, “Ternyata aku salah, Kie. Aku hanya
terjebak dalam kebosanan melawan jarak denganmu dan terjebak dalam ketertarikan
sesaat dengannya.” Bapak angkringan datang membawakan minuman yang kamu pesan.
Aku tak paham apa yang sebenarnya kamu pikirkan selama ini. Kamu bukan
orang yang mudah saja mengambil keputusan, bahkan kamu harus demam dahulu untuk
memikirkan segala yang mungkin akan terjadi. Tapi untuk masalah ini, aku tak
tahu apa isi kepalamu hingga dengan mudah memutuskan sebagai keputusan.
“Kamu tahu, Ren apa yang terjadi denganku setelah kamu membuat keputusan
itu? Aku harus ditanting orang banyak
untuk dapat duduk. Berdiri aku tak mampu, apalagi untuk berlari dan menggenggam
tanganmu lagi. Aku sempurna patah. Kamu tak tahu, berapa banyak hari-hariku
yang terbuang percuma hanya untuk mengingat kembali apa yang pernah kita lalui.
Pergi ke kedai kopi dikotaku, memesan minuman untukku dan kamu yang tidak akan
pernah datang tiba-tiba. Membayangkan kamu akan mengetuk pintu dan mengatakan
bahwa semua ini hanya buah keisenganmu
semata. Mengunjungi tempat-tempat yang akan kita kunjungi, tetap menuliskan
kamu surat-surat yang tidak pernah aku kirim. Mencari pembenaran atas apa yang
kulakukan, berpikir bahwa kamu masih seutuhnya milikku. Hingga aku tersadar
dengan gambar dua dimensi yang kamu unggah di platform sosial mediamu, begitu dekat dengan perempuan bermata
coklat itu. Aku sadar bahwa kamu bukan lagi untukku. Aku mulai bangkit lagi,”
Aku menyesap sedikit es tehku. “aku mulai menata ulang kehidupanku, mengikuti
event untuk mengalihkan perhatian, jalan-jalan bersama teman, menulis luka yang
tidak akan pernah kamu baca. Aku sempurna lupa akan segala. Tak ada lagi helaan
napas panjang ketika malam yang menuntut kerinduan, tak ada lagi air mata yang
jatuh ketika mengingat terakhir kali bertatap. Semua itu sudah menjadi bulan
sabit, Ren. Lalu kamu dengan tanpa dosa menghubungiku kembali, berkata ingin
melanjutkan impian kita yang tertunda.” Kamu hanya menatap kosong sambil
sesekali menyesap kopimu.
“Kamu manusia atau apa sih? Apa kamu tidak pernah berpikir jika
aku mungkin sangat tidak baik-baik saja? Hanya karena dia lebih dekat denganmu
lalu kamu bisa seenaknya menyudahi segala yang pernah terjadi? Kamu tahu persis
aku tidak pernah beranjak kemana-mana. Aku tetap ada di sini. Bahkan aku
menemuimu di stasiun tempat kamu memberi keputusan. Salahku apa, Ren?”
Kamu menggenggam tanganku, berkata maaf lalu bercerita, “Perempuan itu
saudara kembarku yang dibawa oleh teman ibuku. Bagaimana juga dia adalah
adikku. Aku sudah salah mengartikan semua ini. Maaf, Kie.. tapi kamu juga tahu
persis bahwa aku juga tidak beranjak meski sedikit goyah.”
15 Agustus 2018
01.26
Sudah pagi, besok kuliah jam tujuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar