Selasa, 14 Agustus 2018

Nona Teh : Sudah

Tiba-tiba saja rindu menyergap dari segala sisi ruangan ini. Cuaca sedang dingin-dinginnya ketika aku dipertemukan kembali denganmu. Selepas hujan memang dingin bukan? Bukankah hujan selalu sesendu itu? Langkahku sedikit terhambat lebih ke gemetar tak siap jika harus kembali menatapmu. Dengan kenangan yang sudah seperti bom waktu yang siap meledak langkah kaki menuju pintu keluar menjadi berjarak sepuluh kilometer.
               
                Luka itu masih begitu segar ketika kamu memutuskan sebagai keputusan. Tidak ada yang perlu dipertahankan karena mempertahankan sesuatu yang tidak ingin bertahan adalah suatu kemustahilan. Sisa perjalanan turut memberatkan hati untuk bergegas menemukan pintu keluar.


                Tiba-tiba kamu sudah muncul di ambang pintu keluar. Rapal doaku juga tak sempurna mengusir segala gusar yang ada. Kamu telah menunggu, aku bisa menemukan sosokmu di antara orang-orang yang berjubel di sana. Hatiku masih menebak-nebak kabar apa yang akan kamu bawa setelah sekian lama ini. Menebak-nebak apakah kamu akan memelukku ketika kamu menjemputku di stasiun, memesankan aku es teh, menyanyikan lagu-lagu yang kamu suka ketika berada di atas motor, memakaikan jas hujan seperti anak TK, menghitung roda kereta api, dan banyak lainnya.
Ternyata benar, rindu yang begitu muluk ini menginginkan tempat berteduh. Ialah dada dan bahumu yang entah harus aku apakan nanti. Tiba-tiba jarak menjadi sangat dekat, aku sudah berada dihadapanmu, lalu kamu dengan santai merengkuh dengan penuh kerinduan. Aku tak mengerti seutuhnya, kamu yang membuat keputusan tapi kamu juga yang menginginkan itu semua kembali. "Hai." Sapamu, ketika aku sudah tepat dalam dekap. Pengeras suara memanggil-manggil penumpang yang akan menaiki kereta yang kunaiki tadi, dua menit lagi akan berangkat katanya. Lalu kamu mengusap kepalaku dan bertanya, "Apa kabar?".
Apa yang sebenarnya ada dalam hati dan kepalamu? Kamu akan menggenggam tanganku dan memakaikan jaket yang kamu pakai untukku. “Dingin, nanti kamu masuk angin.” Aku hanya terdiam dengan segala tingkahmu, sesekali mengangguk dan tersenyum. Masih belum bisa memahami sepenuhnya apa yang sebenarnya kamu lakukan. 
Di atas motor kamu bercerita banyak, seolah tidak ada yang pernah terjadi di antara kita. Kamu menceritakan hari-harimu ketika tidak bersamaku, menceritakan perempuan bermata coklatmu itu, hingga kamu sudah memarkirkan motor di angkringan kesukaanmu.
Bapak penjual angkringan menyapa, "Lho, udah lama nggak ke sini, Mas kirain udah bubaran." Aku tersenyum saja dan kamu menjawab, "Hehe, iya pak."
"Pesenannya kaya biasa tho, Mas es teh gulanya dikit sama kopi item?" Tanya bapak penjual angkringan itu yang sudah hafal di luar kepala. "Nggih pak." Sahutmu. Kamu masih melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan. Memesankan aku es teh dengan gula yang sedikit dan memesan kopi hitam kesukaanmu itu.
"Kabarku baik, tapi tidak sebaik ketika bersamamu dulu. Segalanya seolah muram. Bisa dikata aku menyesal. Tapi tidak apa, mungkin itu akibat yang harus aku dapatkan. Kie.." Kamu menatap ke arahku sungguh-sungguh, "Maaf, aku yang mengajakmu membuat rencana masa depan tapi aku juga yang menggugurkannya." Lalu kamu meraih tanganku, seperti biasa ketika kamu membuat pengakuan atas kesalahan-kesalan yang selalu kamu ulangi lagi.
“Sebenarnya apa maumu? Apa kabar perempuan bermata coklat itu? Kamu apakan dia?” tanyaku tanpa aling-aling.
“Kita menyadari bahwa kita sepenuhnya berbeda, meski telah diusahakan dengan seluruh tenaga.” Kamu menghela napas panjang, “Ternyata aku salah, Kie. Aku hanya terjebak dalam kebosanan melawan jarak denganmu dan terjebak dalam ketertarikan sesaat dengannya.” Bapak angkringan datang membawakan minuman yang kamu pesan.
Aku tak paham apa yang sebenarnya kamu pikirkan selama ini. Kamu bukan orang yang mudah saja mengambil keputusan, bahkan kamu harus demam dahulu untuk memikirkan segala yang mungkin akan terjadi. Tapi untuk masalah ini, aku tak tahu apa isi kepalamu hingga dengan mudah memutuskan sebagai keputusan.
“Kamu tahu, Ren apa yang terjadi denganku setelah kamu membuat keputusan itu? Aku harus ditanting orang banyak untuk dapat duduk. Berdiri aku tak mampu, apalagi untuk berlari dan menggenggam tanganmu lagi. Aku sempurna patah. Kamu tak tahu, berapa banyak hari-hariku yang terbuang percuma hanya untuk mengingat kembali apa yang pernah kita lalui. Pergi ke kedai kopi dikotaku, memesan minuman untukku dan kamu yang tidak akan pernah datang tiba-tiba. Membayangkan kamu akan mengetuk pintu dan mengatakan bahwa semua ini hanya buah keisenganmu semata. Mengunjungi tempat-tempat yang akan kita kunjungi, tetap menuliskan kamu surat-surat yang tidak pernah aku kirim. Mencari pembenaran atas apa yang kulakukan, berpikir bahwa kamu masih seutuhnya milikku. Hingga aku tersadar dengan gambar dua dimensi yang kamu unggah di platform sosial mediamu, begitu dekat dengan perempuan bermata coklat itu. Aku sadar bahwa kamu bukan lagi untukku. Aku mulai bangkit lagi,” Aku menyesap sedikit es tehku. “aku mulai menata ulang kehidupanku, mengikuti event untuk mengalihkan perhatian, jalan-jalan bersama teman, menulis luka yang tidak akan pernah kamu baca. Aku sempurna lupa akan segala. Tak ada lagi helaan napas panjang ketika malam yang menuntut kerinduan, tak ada lagi air mata yang jatuh ketika mengingat terakhir kali bertatap. Semua itu sudah menjadi bulan sabit, Ren. Lalu kamu dengan tanpa dosa menghubungiku kembali, berkata ingin melanjutkan impian kita yang tertunda.” Kamu hanya menatap kosong sambil sesekali menyesap kopimu.
“Kamu manusia atau  apa sih? Apa kamu tidak pernah berpikir jika aku mungkin sangat tidak baik-baik saja? Hanya karena dia lebih dekat denganmu lalu kamu bisa seenaknya menyudahi segala yang pernah terjadi? Kamu tahu persis aku tidak pernah beranjak kemana-mana. Aku tetap ada di sini. Bahkan aku menemuimu di stasiun tempat kamu memberi keputusan. Salahku apa, Ren?”
Kamu menggenggam tanganku, berkata maaf lalu bercerita, “Perempuan itu saudara kembarku yang dibawa oleh teman ibuku. Bagaimana juga dia adalah adikku. Aku sudah salah mengartikan semua ini. Maaf, Kie.. tapi kamu juga tahu persis bahwa aku juga tidak beranjak meski sedikit goyah.”

15 Agustus 2018               
01.26

Sudah pagi, besok kuliah jam tujuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar