Selasa, 26 Maret 2019

Nona Teh : Akhir


Baru-baru ini aku menyukai suasana temaram yang berasal dari lampu hias yang kupasang di dinding kamarku. Sebelumnya, aku tak menyukai suasana-suasana seperti ini. Membuat segala terlihat lebih muram. Tapi ternyata aku salah, justru aku lebih nyaman dan tenang dengan suasana temaram begini. Ada cahaya orange kemerahan yang menerobos melalui celah-celah jendela kamarku, tanda di luar sana sedang cerah. Maklum saja, akhir-akhir ini cuaca sedang labil-labilnya. Seperti kerinduan yang lama bungkam.

Rasanya masih hangat ketika menepati undanganmu di stasiun malam itu. Ada perasaan bahagia namun banyak tidak mengertinya. Katamu, perempuan dengan mata coklat itu saudarimu. Tapi, entah mengapa aku selalu saja menyangkal hal itu. Setelah aku pikir-pikir, ternyata ada baiknya juga kita berpisah. Aku tak lagi mencemaskan hal-hal yang tidak perlu aku cemaskan dan tidak mencemaskanku pula. Aku sadar bahwa kita tidak pernah benar-benar bahagia. Hitungan-hitungan konyol ketika menunggu kereta api lewat, nyanyianmu yang cenderung sumbang, candaan yang tidak pernah kau nilai, dan hal-hal lain itu hanya buah dari ketidakenakan satu sama lain bukan?

Ah seharusnya aku tidak cukup bodoh untuk menepati undanganmu waktu itu, memberimu kesempatan berkali-kali tidak mengubah kamu menjadi lebih baik. Justru aku memanjakan kamu bahwa kamu masih memiliki tempat pulang meski berkali-kali telah menyakiti. Aku bodoh, terlalu mempercayai orang yang bahkan mungkin tidak percaya dengan dirinya sendiri.

“Kie, maafin aku yang terlalu nggak tahu diri ini.” Katamu waktu itu selepas kamu menceritakan siapa perempuan bermata coklat itu. “Aku ingin kita seperti dulu lagi.”

“Apa katamu? Kembali seperti dulu? Haha. Kamu ini lucu. Kamu sendiri yang memintaku untuk selesai tepat ketika aku menemuimu. Lalu sekarang kamu ingin kita kembali?” suaraku bergetar, ada sesak yang amat dalam, entah apa. “Sudah cukup bagiku berlarut-larut dalam ketidakpastian seperti saat itu.”

“Tidak bisakah sekali lagi kamu beri aku kesempatan, Kie?” Kamu menggenggam tanganku, memohon segala ampun. Tapi sayang, keputusanku sudah bulat. Tidak menerima kamu kembali adalah sebaik-baik keputusan yang pernah kubuat.

“Dengar, Ren kamu ingin tahu apa yang aku rasakan selama ini? Aku kehilangan diriku sendiri, aku tak lagi bisa mengekspresikan perasaanku seperti biasa karena takut kamu anggap lebay. Aku tidak lagi bisa membedakan mana rasa bahagia, sedih, rindu, galau, dan sejenisnya karena kamu tidak mau dibebani dengan perasaan-perasaan semacam itu. Aku membuang jauh-jauh rasa kesal, kecewa, marah, dan sebagainya demi menjaga perasaanmu yang bangsatnya kamu saja tidak memikirkan perasaanku. Aku selama ini memberi kamu kesempatan lagi dan lagi, tapi kamu? Kamu sama saja, Ren tidak pernah beranjak sedikitpun menjadi pribadi yang lebih baik.”

“Kie… please.”

“Tunggu, aku belum selesai bicara. Sudah lelah aku terus-terusan mengalah demi kamu. Keputusanku sudah bulat, aku tidak mau menjadi bodoh terus menerus dengan menerima kamu lagi dan lagi. Kamu hanya merasa nyaman karena selalu memiliki tempat untuk kembali, bukan karena aku. Kamu hanya menyayangkan waktu dan perjuanganmu sendiri, bukan akunya. Jadi, cukup. Terlalu banyak waktuku yang terbuang hanya untuk menangisimu setelah kamu memberi keputusan itu. Lalu sekarang kamu seenak jidat ingin kembali lagi? Aku rasa kamu bukan hanya tidak memiliki hati tapi juga muka. Sudah, keretaku sebentar lagi datang. Sengaja aku memilih keberangkatan paling pagi, agar aku tidak mengenangmu lebih lama lagi. Kamu tidak perlu mengantarkan aku, kenang saja aku sesukamu. Sebab perasaan untukmu telah sempurna mati di stasiun kala itu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar